Antara Ibu dan Secuil Harapan
London, Inggris
Rabu, 25 Mei 2016
07.00 a.m
Aku duduk di bibir kasur sembari
menyeruput teh panas. Sementara tangan kiriku memegang benda pipih yang
menampilkan foto Bapak dan Ibu. Setelah acara kemarin , kepalaku terasa pening.
Bahkan, tas ransel hijau milikku masihkubiarkan tergeletak
dilantai. Kamarku penuh dengan kertas. Kotor dan belum sempat aku
rapikan.
“Sebentar.” Samar-samar aku mendengar
namaku dipanggil.
# # #
Magelang, Indonesia
Jumat, 18 Desember 2009
05.10 p.m
Tanganku melempar sebuah kerikil yang ada
di sekitar ke sebelah kananku. Aku bosan. Rasa-rasanya materi ini sulit untuk
masuk ke dalam otakku yang kecil. Memang benar kata guruku, kalau belajar itu
membutuhkan waktu dan kesabaran.
Semburat warna jingga mulai menghiasi
langit barat yang tadinya berwarna biru, pertanda maghrib akan tiba. Aku
menutup kamus dengan sampul koran--karena aku tak mau sampul aslinya lecet--itu
dan bergegas menuju rumah. Biasanya, pada musim hujan seperti ini, hujan akan
mulai turun dari sore sampai tengah malam. Tapi tidak untuk sore ini.
Aku mengambil air wudu kemudian mencari
sandal jepit hijau milikku yang ukurannya kebesaran. Bapak sudah berangkat ke
masjid lebih dahulu, menyisakan aku dan Ibu di rumah. Kami berjalan beriringan
menuju masjid sambil mendengarkan azan berkumandang. Suaranya halus namun
tegas. Ah, itu suara Bapakku!
Lampu-lampu rumah sepanjang jalan menuju
masjid mulai dinyalakan untuk mengusir gelapnya malam. Kami belok ke kiri dan
tampak masjid di ujung jalan. Putih dan tua. Berpasang-pasang sandal sudah
berjejer di depan pintu kayu masjid yang berwarna hijau.
Setelah ikamah dikumandangkan, kami salat
mengikuti imam. Larut dalam kekhusyukan kepada Sang Pencipta alam. Sujud dengan
menempelkan dahi, tanda patuh dan berserah diri. Karena semua adalah Kuasa-Nya.
"Pak, tumben Bapak azan?"
tanyaku hati-hati saat berjalan menuju rumah setelah salat
magrib. Pasalnya, yang biasanya adzan adalah kakek yang rumahnya di
sebelah masjid.
"Mbah Pur belum rawuh.
Yaudah Bapak yang azan. Sekali-kali ndak apa," jawabnya
sambil membenarkan kopyah hitam yang beliau kenakan.
"Pak, tahu ndak?"
"Ya nggak tahu. Kan belum mbok kasih
tahu."
"Tadi waktu ulangan, nilai Arka
paling bagus. Arka seneng banget." Aku meringis, ingin memamerkan kehebatanku
pada Bapak.
"Anaknya Bapak 'kan emang
pinter."
"Arka pingin jalan-jalan ke luar
negri kalau udah besar nanti, Pak. Sama Bapak dan Ibu."
"Aamiin. Doa Bapak di nadimu,” ucap
Bapak. Seperti lirik lagu milik penyanyi kondang, Iwan Fals.
# # #
Suara air yang bergemericik dari kamar
mandi terdengar jelas di telingaku. Seperti Minggu pagi biasanya, aku ikut Ibu
untuk berjualan di pasar. Lumayan jauh memang, tapi aku tak pernah lelah
berjalan. Toh, di pasar banyak bebek atau ayam kecil yang
menggemaskan, hiburan gratis bagiku. Malu? Untuk apa malu? Banyak juga temanku
yang ikut Bapak atau Emaknya berjualan di pasar seperti diriku.
Ibu memasukkan barang dagangannya ke
dalam bronjong hijau yang diletakkan di sepeda tua. Aku paham
betul, bahwa belajar tak melulu dengan buku. Kata Ibu, kita juga perlu belajar
bersosialisasi. Kita bukan hanya perlu teori namun, praktek.
Udara pagi yang dingin membuat rambut
sebahuku menari-nari seperti daun bambu yang ada di tepi jalan. Aku berjalan di
belakang Ibu yang menuntun sepeda. Deretan Gunung Merapi, Merbabu, dan Gunung
Sumbing tampak dari tempat yang sedang kupijak. Kaki Gunung Tidar.
Pasar Pucang tak pernah sepi. Apalagi jika
hari pasarannya adalah Pahing, Pasar Pucang semakin ramai. Nah, ketika
menjelang Lebaran, tempat ini akan seperti lautan. Banyak yang menjual bunga
mawar, sedap malam, krisan, dan tak lupa ketupat.
"Ibu, Arka mau beli koran."
Selain senang memelototi bebek-bebek kecil sampai bosan, aku juga suka membeli
koran. Melalui koran, aku bisa mengenal daerah dan negara lain. Aku berharap,
suatu saat nanti aku bisa mengunjungi tempat tersebut. Seperti London misalnya.
# # #
"Pak, Arka berangkat dulu.
Assalaamualaikum," pamitku pada beliau.
"Sekolah yang pinter ya. Nanti
langsung pulang kalau sudah selesai."
"Inggih."
Aku tahu, kalau terdapat Negara Amerika di
dunia ini. Aku juga tahu, banyak negara yang bersarang di Bumi ini. Aku selalu
berdoa diterima di jurusan bahasa Inggris saat kuliah dan bisa mengelilingi
London dengan kemampuanku ber’cas cis cus’. Entah mengapa aku sangat
menginginkannya.
Kaki kananku naik ke dalam angkutan kuning
yang akan membawaku ke sekolah. Tak butuh waktu lama untuk sampai.
Selama lima jam kuhabiskan untuk belajar di dalam gedung sekolah bersama kawan
lainnya.
"Ri, aku udah sampai. Duluan
ya." Aku tersenyum pada Sari, turun dari angkot lalu mengangsurkan
ongkos angkot ke Pak Sopir.
Biasanya, sepulang sekolah aku tak
langsung meluncur ke rumah. Melainkan berjalan kaki menuju kediaman guruku yang
tak jauh dari sekolah untuk belajar bahasa Inggris. Tanpa sepengetahuan kedua
orang tuaku. Setelah satu jam, barulah aku pulang.
Kadang Bapak tanya padaku, "Dari
mana, Ka?"
"Belajar bersama, Pak," jawabku
jujur. Aku 'kan memang belajar namun, bersama guruku.
Kali ini, atas perintah Bapak, aku
langsung pulang. Aku menenteng tas sambil berjalan pelan menuju rumah. Melewati
jalan berbatu yang lebarnya kisaran satu setengah meter. Kulihat jam dinding di
depan teras Pak Lurah. Pukul dua belas.
Beberapa meter lagi aku sampai di rumah
tercinta. Mengapa banyak orang yang berjalan ke arah rumahku? Ah, pasti ini
hanya pikiran burukku saja! Mungkin mereka semua hendak pergi ke sawah. Tenang
saja, tak akan terjadi apapun di rumahku. Tapi pikiran itu secara tiba-tiba
hilang, dimakan oleh rasa penasaran. Sepertinya sesuatu memang benar-benar
terjadi!
"Arka, sabar ya, Nduk,"
ucap Bude Sarni yang berpapasan denganku. Sepertinya beliau baru saja dari
rumahku.
"Wonten punapa, Bude?"
tanyaku dengan tak sabaran.
"Bapakmu ...," tuturnya dengan
intonasi yang seakan membuatku mati penasaran. Lama dan menggantung, "Pak
Kusumo meninggal."
Tiga kata yang berkolaborasi. Mampu
menggetarkan hati dan menggoncang duniaku.
"Nggak! Bapak itu hidup! Bude jangan
bercanda sama Arka!" Tidak ada seorangpun yang boleh main-main
dengan kematian. Apalagi soal kematian Bapak. Rasanya aku ingin lari sekuat
yang aku bisa. Tapi apa daya, kaki ini terasa lemas.
"Bapak, bangun, Pak!" kudengar
isak tangis Ibuku. Buru-buru, Ibu menghapus air matanya ketika melihatku di
ambang pintu.
"Ndak apa, Sayang. Ibu
masih di sini," ucapnya yang membuatku semakin ngilu. Ibu sendiri juga
sedang sedih, tapi masih tetap mengkhawatirkan aku.
“Pak, Bapak nggak mau ikut Arka
jalan-jalan ke luar negri ya?” bisikku pelan pada Bapak yang sudah dibalut
dengan kain putih.
Tuhan tidak adil.
# # #
Seperti malam-malam biasanya, aku belajar
seusai salat isya. Sudah sebulan sejak kepergian Bapak. Aku semakin menempel
pada Ibu, takut terjadi sesuatu juga pada beliau. Satu satunya yang kumiliki
saat ini hanyalah Ibu. Sekarang rumah ini hanya berisikan kami berdua.
Sepi.
Tadi siang, Ibu memarahiku karena aku
ketahuan belajar di rumah Bu Atika. Katanya, aku itu merepotkan. Sebenarnya
beliau tidak marah, hanya saja nada bicaranya naik setingkat lebih tinggi. Tapi
aku akan tetap belajar bahasa Inggris pada Bu Atika, bisikku dalam hati.
“Buk, tahu nggak?” tanyaku memecah
keheningan.
“Apa?”
“Arka pingin jalan-jalan ke luar negri
sama Bapak dan Ibu,” ucapku pelan. Aku pernah mengatakan ini kepada Bapak
sebelumnya. Kulihat Ibu hanya menelan ludah, menerima kenyataan bahwa saat ini
Bapak sudah tak lagi ada.
Mengerti arah pembicaraanku, Ibu membalas,
“Kamu sekolah saja di dekat sini. Nggak perlu gengsi sama temanmu yang sekolah
di kota. Banyak temen Ibu yang dulunya mlarat sekarang jadi
pengusaha.”
“Tapi Bu ....”
“Arka itu ‘kan perempuan. Kamu mending les
menjahit atau masak saja, belajar menjadi istri yang baik.” Ibu diam sejenak.
“Sekolah di kota butuh biaya banyak, Ka.”
“Arka bisa kok, kerja sepulang sekolah!”
“Arka! Ibu masih kuat kerja dan cari uang
buat kamu! Kamu sekolah saja, nggak pelu aneh-aneh. Kalau sudah selesai
sekolah, baru boleh kerja.”
Aku membendung air mata dan berlari menuju
kamar. Membanting pintunya hingga menciptakan suara keras yang pastinya akan
membuat hati Ibu terluka. Tapi aku sedang marah dan tak mau tahu dengan
perasaan Ibu.
“Pokoknya aku mau ke London!”
Tanganku membuka lemari dan
mengobrak-abrik isinya. Mengapa hanya Bapak saja yang menyetujui mimpiku?
Mengapa Ibu tidak? Andai Bapak masih ada, aku bisa meminta perlindungan
padanya. Tapi mustahil. Aku hendak melempar beberapa pakaian yang berserakan di
lantai, tiba-tiba aku menemukan secarik kertas yang terselip di bawah
seragamku.Mataku menyipit, mencoba mengingat-ingat kertas apa yang sedang ada
di tanganku saat ini. Ini bukan milikku.
Untuk
Arka.
Empat belas tahun sudah Bapak lewati
bersamamu. Bapak ingat, saat pertama kali mendengar suara tangismu memenuhi
telingaku. Kuberi nama kau Arka yang artinya matahari dan Kusumo yang merupakan
namaku. Kuharap kau selalu menjadi matahari dalam hidupku. Matahari bagi
Kusumo. Bapak tahu, namamu itu seperti laki-laki dan kau sering dicemooh oleh
temanmu. Tapi percayalah, kau tetap cantik dengan namamu itu.
Empat belas tahun bukanlah waktu yang
singkat. Tapi kau tumbuh menjadi gadis cantik dengan begitu cepat. Jadilah
anak yang pandai dan berbakti pada orang tuamu. Terutama Ibumu.
Ingat, Nak. Rida Allah tergantung pada rida kedua orang tuamu dan
murka Allah juga tergantung pada murka kedua orang tuamu. Dan sekarangi, saat
kau baca surat ini, kau hanya bisa mendapat rida Allah dari Ibumu.
Salam rindu, Bapak.
Aku menangis sejadi-jadinya sampai larut
malam. Memeluk surat itu sampai aku tertidur. Berharap Bapak benar-benar datang
padaku.
# # #
Aku membereskan kertas-kertas yang
berserakan di atas meja. Memandangi tiap lembar kertas yang yang penuh dengan
warna. Sampel-sampel kain berjejer rapi di sudut ruangan, membuat kamarku
semakin penuh dan sesak. Aku lelah. Beberapa bulan lalu, namaku melambung
tinggi walau tak setinggi Anniesa Hasibuan maupun Dian Pelangi.
Jika kau tahu, saat itu, aku memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolah di kota atau meneruskan kuliah di jurusan
Inggris. Aku selalu mengingat hadis yang ditulis Bapak dalam suratnya. Bahwa
rida Allah tergantung pada rida kedua orang tua dan murka Allah tergantung pada
murka kedua orang tua. Aku dengan sedikit terpaksa mengikuti les menjahit dan
mengambil Sekolah Menengah Atas yang tak jauh dari rumah.
Berawal dari keterpaksaan kini, aku
menjadi desainer. Ini semua adalah berkat doa dan rida Ibu. Setelah lulus SMA
aku masuk dalam jurusan yang tak jauh dari urusan jahit-menjahit yaitu,
desain. Setengah bulan yang lalu, aku sempat terbang ke London
dan menginap beberapa hari di sana. Menjadi tamu untuk sekadar menonton
dalam salah satu fashion show yang digelar oleh
desainer-desainer ternama di dunia. Tak lupa, Ibu ikut serta dalam
perjalananku mengunjungi beberapa tempat yang sudah kuimpikan.
Data diri :
Elsa Naditya Paramitha
MTsN 1 Surakarta