Sabtu, 04 Maret 2017

Pada tanggal 27 Februari 2017, OPPK MAPK MAN 1 Surakarta telah berhasil mengadakan agenda besar tahunan, MAPK FAIR 2017 Tingkat Se-Jawa yang berjalan dengan sukses dan lancar. Acara ini diselenggarakan dengan tujuan mengembangkan bakat dan minat santri-santriwati dalam bidang bahasa dan seni sekaligus sebagai sarana dakwah. Acara ini juga untuk memperkenalkan kepada dunia luar bahwa MAPK Solo adalah salah satu sekolah berbasis pondok pesantren dengan berbagai fasilitas dan kegiatannya untuk mengembangkan minat dan bakat santri-santriwatinya dalam bidang bahasa,seni dan dakwah.
     Sebanyak tujuh lomba berbeda dalam bidang bahasa tersedia dalam acara MAPK FAIR 2017, yaitu lomba pidato 3 bahasa, lomba story telling, lomba kaligrafi, MHQ, dan MTQ. Sebanyak 275 peserta mengikuti lomba-lomba tersebut dari 41 sekolah berbeda di sekitar Jateng, Jatim, dan DIY. Acara yang berlangsung selama 8,5 jam telah menghasilkan 35 juara yang terdiri dari juara 1 hingga juara harapan 2 dari tujuh lomba yang ada.
     Terdapat 20 sekolah yang berhasil merebut 35 juara yang ada pada acara MAPK FAIR 2017 kali ini, yaitu dari MTs SA Al Islam Jamsaren, MTs Muh. Blimbing, MTsN Nglawak Kertosono Nganjuk, MTsN Termas Baron, SMP Islam Bina Insani Susukan, Ponpes Baiturrahmah Klaten, MTs NU Banat Kudus, MTsN Nganjuk, MTsN 1 Surakarta, Ponpes Ibbas Assalafy Sragen, SMP MTA Gemolong, MTs Al Mujahidin, SMPIT Darul Hidayah, SMP Muh. Al Kausar PK, MTsN Berber Nganjuk, SMP Al Qolam Gemolong, SMP Al Islam 1 Surakarta, MTsN Surakarta 2, Ponpes Imam Bukhori, dan SMP BQ BS Sambirejo.
     Dan akhirnya, dari perjuangan yang sungguh-sungguh dan niat yang lillah, keluarlah MTsN Nglawak, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur sebagai Juara Umum MAPK FAIR 2017. Tak sia-sia perjuangan mereka dalam usaha untuk membawa kemenangan kembali pada kota kesayangannya. Untuk pertama kalinya mereka mengikuti acara ini, dan langsung menjadi menjadi juara umum MAPK FAIR 2017 sangatlah menjadi suatu penghargaan dan kebanggaan bagi mereka sendiri. Telah terbayar semua jerih payah peserta beserta pembimbing mereka.
     Dengan kerja keras panitia dan seluruh asatidz akhirnya acara ini dapat berlangsung dengan lancar dan sukses ,meskipun terdapat beberapa kendala dalam prosesnya. Acara ini sangat membekas bagi semua orang yang terlibat di dalamnya dan dapat menjadi suatu pelajaran untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya.
            Selain itu kesuksesan acara juga didukung oleh pihak seponsor,diantaranya













Senin, 13 Februari 2017

Kamis, 09 Februari 2017

HIJAU
Kemana gerangan hijauku?
Hijauku yang dulu di mana-mana
Hijauku yang mencuci mata
Yang selalu menemani bumiku senantiasa
Wahai kenapa kau tak setia seperti dulu?
Siapa yang menculikmu?
Apakah ulah para penggila harta?
Dengan iming-iming pada petani papa
Dan sekarang aku terkekang di dalam kehancuranmu
Siapakah yang merusakmu?
Yang mengubah langit birumu?
Menjadi kepulan awan hitam
Yang membinasakan makhluk dalam bumi nan kelam
Seiring dengan dunia yang carut marut
Para penguasa korupsi tanpa takut

Bumiku makin panas, hancur, lari sekencang-kencangnya dariku
Siapa pengubahmu? Siapa dia?
Semakin jauh, jauh, menjauh

Dan HILANG

Filosofi Kehidupan

Laksana semut pencari jalan
Yang terus menabrak dan mendorong
Masih berada di tempat yang sama
Dengan mata tertutup dan bibir yang mengatup
Tidak pernah kurasakan semua ini
Harus ku pergi dan terus mencari
Tak bisa kembali dan terus berjalan
Jika aku dapat terbang bebas
Jika aku dapat  lari selamanya
Sebuah harapan yang datang tanpa janji
Sebuah mimpi yang terkubur selama ini
Terus bertanya dan berpikir
Mungkinkah aku menjadi

Sang bulu kecil yang dapat terbang tinggi ?

Antara Ibu dan Secuil Harapan



London, Inggris
Rabu, 25 Mei 2016
07.00 a.m
Aku duduk di bibir kasur sembari menyeruput teh panas. Sementara tangan kiriku memegang benda pipih yang menampilkan foto Bapak dan Ibu. Setelah acara kemarin , kepalaku terasa pening. Bahkan, tas ransel hijau milikku masihkubiarkan tergeletak dilantai.  Kamarku penuh dengan kertas. Kotor dan belum sempat aku rapikan.
“Sebentar.” Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil.
#  #  #
Magelang, Indonesia
Jumat, 18 Desember 2009

05.10 p.m
Tanganku melempar sebuah kerikil yang ada di sekitar ke sebelah kananku. Aku bosan. Rasa-rasanya materi ini sulit untuk masuk ke dalam otakku yang kecil. Memang benar kata guruku, kalau belajar itu membutuhkan waktu dan kesabaran.
Semburat warna jingga mulai menghiasi langit barat yang tadinya berwarna biru, pertanda maghrib akan tiba. Aku menutup kamus dengan sampul koran--karena aku tak mau sampul aslinya lecet--itu dan bergegas menuju rumah. Biasanya, pada musim hujan seperti ini, hujan akan mulai turun dari sore sampai tengah malam. Tapi tidak untuk sore ini.
Aku mengambil air wudu kemudian mencari sandal jepit hijau milikku yang ukurannya kebesaran. Bapak sudah berangkat ke masjid lebih dahulu, menyisakan aku dan Ibu di rumah. Kami berjalan beriringan menuju masjid sambil mendengarkan azan berkumandang. Suaranya halus namun tegas. Ah, itu suara Bapakku!
Lampu-lampu rumah sepanjang jalan menuju masjid mulai dinyalakan untuk mengusir gelapnya malam. Kami belok ke kiri dan tampak masjid di ujung jalan. Putih dan tua. Berpasang-pasang sandal sudah berjejer di depan pintu kayu masjid yang berwarna hijau.
Setelah ikamah dikumandangkan, kami salat mengikuti imam. Larut dalam kekhusyukan kepada Sang Pencipta alam. Sujud dengan menempelkan dahi, tanda patuh dan berserah diri. Karena semua adalah Kuasa-Nya.
"Pak, tumben Bapak azan?" tanyaku hati-hati saat berjalan menuju rumah setelah salat magrib.  Pasalnya, yang biasanya adzan adalah kakek yang rumahnya di sebelah masjid.
"Mbah Pur belum rawuh. Yaudah Bapak yang azan. Sekali-kali ndak apa," jawabnya sambil membenarkan kopyah hitam yang beliau kenakan.
"Pak, tahu ndak?"
"Ya nggak tahu. Kan belum mbok kasih tahu."
"Tadi waktu ulangan, nilai Arka paling bagus. Arka seneng banget." Aku meringis, ingin memamerkan kehebatanku pada Bapak.
"Anaknya Bapak 'kan emang pinter."
"Arka pingin jalan-jalan ke luar negri kalau udah besar nanti, Pak. Sama Bapak dan Ibu."
"Aamiin. Doa Bapak di nadimu,” ucap Bapak. Seperti lirik lagu milik penyanyi kondang, Iwan Fals.
#  #  #
Suara air yang bergemericik dari kamar mandi terdengar jelas di telingaku. Seperti Minggu pagi biasanya, aku ikut Ibu untuk berjualan di pasar. Lumayan jauh memang, tapi aku tak pernah lelah berjalan. Toh, di pasar banyak bebek atau ayam kecil yang menggemaskan, hiburan gratis bagiku. Malu? Untuk apa malu? Banyak juga temanku yang ikut Bapak atau Emaknya berjualan di pasar seperti diriku.
Ibu memasukkan barang dagangannya ke dalam bronjong hijau yang diletakkan di sepeda tua. Aku paham betul, bahwa belajar tak melulu dengan buku. Kata Ibu, kita juga perlu belajar bersosialisasi. Kita bukan hanya perlu teori namun, praktek.
Udara pagi yang dingin membuat rambut sebahuku menari-nari seperti daun bambu yang ada di tepi jalan. Aku berjalan di belakang Ibu yang menuntun sepeda. Deretan Gunung Merapi, Merbabu, dan Gunung Sumbing tampak dari tempat yang sedang kupijak. Kaki Gunung Tidar.
Pasar Pucang tak pernah sepi. Apalagi jika hari pasarannya adalah Pahing, Pasar Pucang semakin ramai. Nah, ketika menjelang Lebaran, tempat ini akan seperti lautan. Banyak yang menjual bunga mawar, sedap malam, krisan, dan tak lupa ketupat.
"Ibu, Arka mau beli koran." Selain senang memelototi bebek-bebek kecil sampai bosan, aku juga suka membeli koran. Melalui koran, aku bisa mengenal daerah dan negara lain. Aku berharap, suatu saat nanti aku bisa mengunjungi tempat tersebut. Seperti London misalnya.
#  #  #
"Pak, Arka berangkat dulu. Assalaamualaikum," pamitku pada beliau.
"Sekolah yang pinter ya. Nanti langsung pulang kalau sudah selesai."
"Inggih."
Aku tahu, kalau terdapat Negara Amerika di dunia ini. Aku juga tahu, banyak negara yang bersarang di Bumi ini. Aku selalu berdoa diterima di jurusan bahasa Inggris saat kuliah dan bisa mengelilingi London dengan kemampuanku ber’cas cis cus’. Entah mengapa aku sangat menginginkannya.
Kaki kananku naik ke dalam angkutan kuning yang akan membawaku ke sekolah.  Tak butuh waktu lama untuk sampai. Selama lima jam kuhabiskan untuk belajar di dalam gedung sekolah bersama kawan lainnya.
"Ri, aku udah sampai. Duluan ya." Aku tersenyum pada Sari,  turun dari angkot lalu mengangsurkan ongkos angkot ke Pak Sopir.
Biasanya, sepulang sekolah aku tak langsung meluncur ke rumah. Melainkan berjalan kaki menuju kediaman guruku yang tak jauh dari sekolah untuk belajar bahasa Inggris. Tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Setelah satu jam, barulah aku pulang.
Kadang Bapak tanya padaku, "Dari mana, Ka?"
"Belajar bersama, Pak," jawabku jujur. Aku 'kan memang belajar namun, bersama guruku.
Kali ini, atas perintah Bapak, aku langsung pulang. Aku menenteng tas sambil berjalan pelan menuju rumah. Melewati jalan berbatu yang lebarnya kisaran satu setengah meter. Kulihat jam dinding di depan teras Pak Lurah. Pukul dua belas.
Beberapa meter lagi aku sampai di rumah tercinta. Mengapa banyak orang yang berjalan ke arah rumahku? Ah, pasti ini hanya pikiran burukku saja! Mungkin mereka semua hendak pergi ke sawah. Tenang saja, tak akan terjadi apapun di rumahku. Tapi pikiran itu secara tiba-tiba hilang, dimakan oleh rasa penasaran. Sepertinya sesuatu memang benar-benar terjadi!
"Arka, sabar ya, Nduk," ucap Bude Sarni yang berpapasan denganku. Sepertinya beliau baru saja dari rumahku.
"Wonten punapa, Bude?" tanyaku dengan tak sabaran.
"Bapakmu ...," tuturnya dengan intonasi yang seakan membuatku mati penasaran. Lama dan menggantung, "Pak Kusumo meninggal."
Tiga kata yang berkolaborasi. Mampu menggetarkan hati dan menggoncang duniaku.
"Nggak! Bapak itu hidup! Bude jangan bercanda sama Arka!" Tidak  ada seorangpun yang boleh main-main dengan kematian. Apalagi soal kematian Bapak. Rasanya aku ingin lari sekuat yang aku bisa. Tapi apa daya, kaki ini terasa lemas.
"Bapak, bangun, Pak!" kudengar isak tangis Ibuku. Buru-buru, Ibu menghapus air matanya ketika melihatku di ambang pintu.
"Ndak apa, Sayang. Ibu masih di sini," ucapnya yang membuatku semakin ngilu. Ibu sendiri juga sedang sedih, tapi masih tetap mengkhawatirkan aku.
“Pak, Bapak nggak mau ikut Arka jalan-jalan ke luar negri ya?” bisikku pelan pada Bapak yang sudah dibalut dengan kain putih.
Tuhan tidak adil.
#  #  #
Seperti malam-malam biasanya, aku belajar seusai salat isya. Sudah sebulan sejak kepergian Bapak. Aku semakin menempel pada Ibu, takut terjadi sesuatu juga pada beliau. Satu satunya yang kumiliki saat ini hanyalah Ibu. Sekarang rumah ini hanya berisikan kami berdua. Sepi.
Tadi siang, Ibu memarahiku karena aku ketahuan belajar di rumah Bu Atika. Katanya, aku itu merepotkan. Sebenarnya beliau tidak marah, hanya saja nada bicaranya naik setingkat lebih tinggi. Tapi aku akan tetap belajar bahasa Inggris pada Bu Atika, bisikku dalam hati.
“Buk, tahu nggak?” tanyaku memecah keheningan.
“Apa?”
“Arka pingin jalan-jalan ke luar negri sama Bapak dan Ibu,” ucapku pelan. Aku pernah mengatakan ini kepada Bapak sebelumnya. Kulihat Ibu hanya menelan ludah, menerima kenyataan bahwa saat ini Bapak sudah tak lagi ada.
Mengerti arah pembicaraanku, Ibu membalas, “Kamu sekolah saja di dekat sini. Nggak perlu gengsi sama temanmu yang sekolah di kota. Banyak temen Ibu yang dulunya mlarat sekarang jadi pengusaha.”
“Tapi Bu ....”
“Arka itu ‘kan perempuan. Kamu mending les menjahit atau masak saja, belajar menjadi istri yang baik.” Ibu diam sejenak. “Sekolah di kota butuh biaya banyak, Ka.”
“Arka bisa kok, kerja sepulang sekolah!”
“Arka! Ibu masih kuat kerja dan cari uang buat kamu! Kamu sekolah saja, nggak pelu aneh-aneh. Kalau sudah selesai sekolah, baru boleh kerja.”
Aku membendung air mata dan berlari menuju kamar. Membanting pintunya hingga menciptakan suara keras yang pastinya akan membuat hati Ibu terluka. Tapi aku sedang marah dan tak mau tahu dengan perasaan Ibu.
“Pokoknya aku mau ke London!”
Tanganku membuka lemari dan mengobrak-abrik isinya. Mengapa hanya Bapak saja yang menyetujui mimpiku? Mengapa Ibu tidak? Andai Bapak masih ada, aku bisa meminta perlindungan padanya. Tapi mustahil. Aku hendak melempar beberapa pakaian yang berserakan di lantai, tiba-tiba aku menemukan secarik kertas yang terselip di bawah seragamku.Mataku menyipit, mencoba mengingat-ingat kertas apa yang sedang ada di tanganku saat ini.  Ini bukan milikku.
            Untuk Arka.


Empat belas tahun sudah Bapak lewati bersamamu. Bapak ingat, saat pertama kali mendengar suara tangismu memenuhi telingaku. Kuberi nama kau Arka yang artinya matahari dan Kusumo yang merupakan namaku. Kuharap kau selalu menjadi matahari dalam hidupku. Matahari bagi Kusumo. Bapak tahu, namamu itu seperti laki-laki dan kau sering dicemooh oleh temanmu. Tapi percayalah, kau tetap cantik dengan namamu itu.
Empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi kau tumbuh menjadi gadis cantik dengan begitu cepat. Jadilah anak yang pandai dan berbakti pada orang tuamu. Terutama Ibumu.
Ingat, Nak. Rida Allah tergantung pada rida kedua orang tuamu dan murka Allah juga tergantung pada murka kedua orang tuamu. Dan sekarangi, saat kau baca surat  ini, kau hanya bisa mendapat rida Allah dari Ibumu.
Salam rindu, Bapak.
Aku menangis sejadi-jadinya sampai larut malam. Memeluk surat itu sampai aku tertidur. Berharap Bapak benar-benar datang padaku. 
#  #  #
Aku membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Memandangi tiap lembar kertas yang yang penuh dengan warna. Sampel-sampel kain berjejer rapi di sudut ruangan, membuat kamarku semakin penuh dan sesak. Aku lelah. Beberapa bulan lalu, namaku melambung tinggi walau tak setinggi Anniesa Hasibuan maupun Dian Pelangi.
Jika kau tahu, saat itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah di kota atau meneruskan kuliah di jurusan Inggris. Aku selalu mengingat hadis yang ditulis Bapak dalam suratnya. Bahwa rida Allah tergantung pada rida kedua orang tua dan murka Allah tergantung pada murka kedua orang tua. Aku dengan sedikit terpaksa mengikuti les menjahit dan mengambil Sekolah Menengah Atas yang tak jauh dari rumah.
Berawal dari keterpaksaan kini, aku menjadi desainer. Ini semua adalah berkat doa dan rida Ibu. Setelah lulus SMA aku masuk dalam jurusan yang tak jauh dari urusan jahit-menjahit yaitu, desain. Setengah bulan yang lalu, aku sempat terbang ke London dan menginap beberapa hari di sana. Menjadi tamu untuk sekadar menonton dalam salah satu fashion show yang digelar oleh desainer-desainer ternama di dunia. Tak lupa, Ibu ikut serta dalam perjalananku mengunjungi beberapa tempat yang sudah kuimpikan.




Data diri :

Elsa Naditya Paramitha

MTsN 1 Surakarta

My Little Bird
Dalam dua tahun belakangan ini, aku tak pernah tertawa sampai merasa puas. Lelucon selucu apapun tak bisa membuatku tertawa, hanya bisa membuatku tersenyum lebar yang sama sekali tidak memuaskan harapanku untuk tertawa. Aku sangat membenci keadaanku ini, jadi aku meminta pada Tuhan, semoga Dia mau mengirimiku apa saja, asalkan itu bisa membuatku tertawa. Tapi, itu tidak mungkin.
Pagi hari di musim semi saat usiaku 17 tahun, ketika aku membuka gorden jendela kamarku, di bingkai jendela itu terdapat seekor burung. Burung itu kecil, lemah, dan setelah kuperiksa ternyata dia mengalami patah tulang di sayap. Entah kenapa, hatiku pun tergerak untuk merawatnya.
Jadi, begitulah. Burung itu kurawat sampai pulih betul dan kuberi dia nama Shiro karena bulu sayapnya berwarna putih terang. Setiap hendak berangkat sekolah dan sepulangnya, aku menyempatkan diri untuk menyapa Shiro dan mengamati perkembangan kesembuhannya. Ajaibnya, dalam waktu dua minggu, Shiro sudah sembuh dan siap terbang.
Aku memutuskan untuk menerbangkannya minggu depan. Jaga-jaga kalau nanti ternyata dia belum sembuh benar. Selama satu minggu itu, Shiro sudah bisa terbang mengelilingi rumahku dan selalu ada di kamar setiap aku ada di kamar. Dia selalu membawakan bunga Sakura yang tumbuh di depan rumahku setiap pagi.
Hari minggu pun tiba.Aku membawa Shiro ke hutan kecil yang ada di dekat rumahku. “Selamat, Shiro. Dengan begini, kau bisa terbang bebas lagi dan menikmati sejuknya udara di musim semi,” kataku mengucapkan selamat pada Shiro. Shiro hanya bisa berkicau senang. Bagi manusia, itu mungkin senyum bahagia.
“Enak sekali dirimu ini, bisa tersenyum bahagia hanya karena hal sekecil ini. Andai saja aku masih punya orang yang kusayangi, aku pasti masih bisa tertawa. Jika begini terus, aku tidak akan pernah punya teman lagi,” keluhku sambil mengelus sayap Shiro yang lembut.
Shiro menatapku sejenak lalu mengelus tanganku dengan kepalanya. “Hihi, kau baik hati sekali. Sayangnya, aku tak mengerti maksud ucapanmu. Andai kita sejenis, kita pasti sudah menjadi teman baik,” kataku sambil tersenyum sedih.
“Sampai jumpa lagi, ya, Shiro. Semoga kita bisa bertemu lagi. Bye!”
J|J
Hari ini adalah hari Senin, hari yang tidak kusukai. Selalu saja dalam hidupku Senin menjadi hari yang menyedihkan. Pelajarannya banyak, enggak penting, dan membuatku nyaris mati karena bosan.
“Anak-anak, duduk di tempat kalian masing-masing. Hari ini, kelas kita kedatangan murid baru,” kata Bu Arla tegas.
Murid baru itu pun memperkenalkan diri. “Hai, semua. Namaku Mamoru Shiro, Shiro. Senang bisa sekelas dengan kalian. Mohon bantuannya dari hari ini sampai besok-besok, ya?” katanya sambil melempar senyum manis ke seisi kelas.
Tunggu dulu, namanya Shiro? Mungkin kesannya berlebihan, tapi kok aku merasa dia mirip dengan Shiro, burung yang kurawat? Rambut gadis itu lurus dan warnanya putih terang. Jepit rambutnya yang berbentuk sekumpulan daun dan bunga Sakura tampak cocok membuatnya semakin cantik. Kulit tubuhnya juga putih bersinar. Betul-betul seperti malaikat.
Cewek aneh itu duduk di dekatku. Sepanjang hari, dia terus  menatapku lekat-lekat, seperti sedang mengawasi dan hal itu dilakukannya terang-terangan. Aku pingin istirahat datang. Akhirnya, datang juga waktu itu! Aku sudah bersiap pergi dari kelas. Tapi..
“Tunggu dulu,” cegahnya. Aku pun berhenti bergerak selama sesaat lalu duduk kembali. “Bagus. Begitu, dong. Nah, karena kita sekelas dan tempat duduk kita dekat, sebagai teman yang baik boleh aku bertanya banyak hal padamu?” tanya Shiro padaku tanpa melupakan senyum manis di bibirnya.
“Hah? Aku menolak,” balasku dengan dingin. “Cari saja orang lain. Alangkah lebih baik kalau yang kau minta bantuan itu sesama cewek,” kataku memberi saran.
“Aku tak mau. Aku lebih suka dengan yang lebih dekat,” tolaknya halus. Aku membuka mulut hendak membujuknya lagi untuk menjauhiku. “Eits, cukup,” cegahnya lagi. “Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku,” pintanya.
Aku mendesah dengan sedih. “Baiklah. Apa?” tanyaku berusaha sabar.
“Ini pertanyaan umum. Siapa namamu?” tanyanya. Aku merasa gadis ini punya sihir memikat yang luar biasa.
“Sean. Sean Afiagi,” balasku dengan senang hati. Dia tiba-tiba mendekatkan dirinya kepadaku dan menarik kedua sudut bibirku bersamaan, membuat senyuman di wajahku dan wajahnya menggunakan dua jari telunjuknya yang lentik.
“Apa-apaan, sih, kau ini?!” seruku kaget sambil mendorongnya menjauh.
“Kau ini memang tampan. Tapi, jauh lebih tampan kalau tersenyum. Salah apa, sih, dunia ini padamu sampai-sampai membuat senyum pun kau enggan melakukannya?” tanya Shiro.
“Memangnya kau tau apa tentang kehidupanku! Kau ini Cuma murid baru, mengenalku satu hari saja belum sudah sok tau! Jangan belagu!” seruku kesal.
Awalnya, dia syok berat dan menatapku dengan sorot mata berkaca-kaca. Tepat sebelum aku melakukan pencegahan supaya dia tidak menangis, senyum manis kembali muncul di bibirnya.
“Bagus. Tunjukkan saja ekspresimu. Jangan menahannya. Pasti rasanya sangat menyiksa terus-terusan berwajah baik-baik saja, ‘kan? Selama ada di dekatku, kau boleh melakukan apapun maupun bersikap semaumu,” katanya. Aku jadi takut. Sebenarnya, siapa gadis ini?
J|J
Hari-hari yang aneh dan menyebalkan pun berlangsung sejak kejadian itu. Kemana pun aku pergi, Shiro selalu mengikuti. Sebenarnya, aku tidak membencinya, sih. Siapa juga yang bisa membenci gadis semanis dan sespesial dia? Selain dianugerahi paras manis luar biasa, dia juga sangat pengertian dan baik pada semua orang. Lagipula, dia suka sekali membuat orang di sekelilingnya menjadi bahagia.
Gara-gara dia, lama kelamaan aku merasa seperti telah dikembalikan bagian tubuh yang hilang. Kurasa, ini semua berkat Shiro.
Pada pagi hari di hari Senin, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengharapkan hari ini datang. Soalnya, aku mau mengucapkan terimakasih pada Shiro. Tapi, ditunggu sejak tadi pun, gadis itu tidak kunjung ada.
“Hei, ada yang tau enggak Shiro ada dimana?” tanyaku pada salah satu teman sekelas.
“Eh, masa’ Sean tidak tau? Dua hari yang lalu Shiro keluar dari sekolah. Dia pindah rumah,” jawabnya.
Apa? ‘PINDAH’? Secepat itu kah? Padahal, ada banyak hal yang ingin kulakukan untuk membalas budi padanya. Gawat, dua hari yang lalu aku tidak masuk, sih.
Pelajaran pertama olahraga. Gara-gara kejadian tadi pagi, kepalaku jadi pusing. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan waktu di UKS sampai merasa baikan.
Ketika aku hendak tidur, muncullah seorang gadis yang sangat kunantikan kehadirannya, Mamoru Shiro. “Shiro, syukurlah kau ada di sini.Ada yang ingin kubicarakan padamu,” kataku senang lalu mengambil posisi duduk. Shiro pun mendekat ke ranjangku.
“Mungkin ini berlebihan, tapi aku ingin mengucapkan terimakasih padamu. Gara-gara kamu, aku bisa tertawa lagi dan bersenang-senang dengan yang lain. Terimakasih, ya!” kataku sambil tersenyum senang. Shiro menunjukkan ekspresi yang lebih bahagia daripada yang kubuat.
“Syukurlah kalau begitu, Sean,” katanya senang. Lalu, tiba-tiba dia menghujaniku dengan bunga Sakura yang entah dari mana dia bawa dan jumlahnya sangat banyak.
“Apa maksudnya ini?” tanyaku kaget dan bingung.
Shiro tersenyum, tapi tersenyum sedih. “Dengan begini aku sudah membalas budimu. Selamat tinggal,” kata Shiro. Matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Hal yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaanku. Dalam sekejab, dia berubah wujud menjadi burung kecil berbulu putih terang.
“Shi-Shi-ro..?” tanyaku tidak percaya. Burung itu hanya menunduk lalu mengepakkan sayapnya melintasiku. Dia terus terbang sampai ke luar jendela. “Shiro, tunggu!” teriakku berusaha menghentikannya sambil mengulurkan tanganku berharap bisa menangkapnya. Tapi, Shiro terus terbang tak memedulikan panggilanku.
J|J
Hari ini Hanami. Aku pergi ke taman Sakura di tengah kota dan duduk di salah satu bangku panjang yang disediakan di dekat air mancur. Di dekat air mancur itu, biasanya berbagai macam burung berkumpul dan para pengunjung akan memberi makan mereka. Aku pun sedang melakukannya. Dari sekian banyak burung yang berkumpul, tak satu pun ada yang mirip Shiro.
“Shiro, kembalilah..,” panggilku lirih dengan nada sedih.
“Iya, aku di sini,” suara seorang gadis yang sangat kukenal terdengar. Aku segera mendongak dan menatap wajahnya dengan ekspresi tak percaya. Itu Shiro!
Shiro tersenyum geli melihatku. “Hihi, kau ini kenapa, sih, Sean? Padahal, aku meninggalkanmu karena berpikir kalau kau sudah tidak apa-apa jika sendirian karena kau sudah bahagia,” katanya sambil tersenyum geli. Aku pun balas tersenyum.
“Mana mungkin aku bisa bahagia tanpa dirimu”.

J|J

Senin, 09 Januari 2017




  • Peserta bisa mengisi formulir pendaftaran dengan klik di sini dan membayar uang pendaftaran.
  • Biaya pendaftaran dapat dibayarkan melalui rekening BNI 042 541 6100, An : Muhammad Syfaul Adib.
  • Bagi sekolah yang telah mengirim biaya pendaftaran dimohon konfirmasi ke CP (085647201027)  karena peserta akan tercatat jika sudah membayar uang pendaftaran.
  • Untuk foto dibawa ketika daftar ulang.
  • Pendaftaran bisa ditutup sewaktu-waktu jika kuota peserta sudah penuh.
  • juknis dapat diunduh klik di sini

Know us

Our Team

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *