Kamis, 09 Februari 2017

Karya cerpen milik Elsa Naditya Paramita sebagai juara 2 lomba cerpen PENA MAPK 2017

Antara Ibu dan Secuil Harapan



London, Inggris
Rabu, 25 Mei 2016
07.00 a.m
Aku duduk di bibir kasur sembari menyeruput teh panas. Sementara tangan kiriku memegang benda pipih yang menampilkan foto Bapak dan Ibu. Setelah acara kemarin , kepalaku terasa pening. Bahkan, tas ransel hijau milikku masihkubiarkan tergeletak dilantai.  Kamarku penuh dengan kertas. Kotor dan belum sempat aku rapikan.
“Sebentar.” Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil.
#  #  #
Magelang, Indonesia
Jumat, 18 Desember 2009

05.10 p.m
Tanganku melempar sebuah kerikil yang ada di sekitar ke sebelah kananku. Aku bosan. Rasa-rasanya materi ini sulit untuk masuk ke dalam otakku yang kecil. Memang benar kata guruku, kalau belajar itu membutuhkan waktu dan kesabaran.
Semburat warna jingga mulai menghiasi langit barat yang tadinya berwarna biru, pertanda maghrib akan tiba. Aku menutup kamus dengan sampul koran--karena aku tak mau sampul aslinya lecet--itu dan bergegas menuju rumah. Biasanya, pada musim hujan seperti ini, hujan akan mulai turun dari sore sampai tengah malam. Tapi tidak untuk sore ini.
Aku mengambil air wudu kemudian mencari sandal jepit hijau milikku yang ukurannya kebesaran. Bapak sudah berangkat ke masjid lebih dahulu, menyisakan aku dan Ibu di rumah. Kami berjalan beriringan menuju masjid sambil mendengarkan azan berkumandang. Suaranya halus namun tegas. Ah, itu suara Bapakku!
Lampu-lampu rumah sepanjang jalan menuju masjid mulai dinyalakan untuk mengusir gelapnya malam. Kami belok ke kiri dan tampak masjid di ujung jalan. Putih dan tua. Berpasang-pasang sandal sudah berjejer di depan pintu kayu masjid yang berwarna hijau.
Setelah ikamah dikumandangkan, kami salat mengikuti imam. Larut dalam kekhusyukan kepada Sang Pencipta alam. Sujud dengan menempelkan dahi, tanda patuh dan berserah diri. Karena semua adalah Kuasa-Nya.
"Pak, tumben Bapak azan?" tanyaku hati-hati saat berjalan menuju rumah setelah salat magrib.  Pasalnya, yang biasanya adzan adalah kakek yang rumahnya di sebelah masjid.
"Mbah Pur belum rawuh. Yaudah Bapak yang azan. Sekali-kali ndak apa," jawabnya sambil membenarkan kopyah hitam yang beliau kenakan.
"Pak, tahu ndak?"
"Ya nggak tahu. Kan belum mbok kasih tahu."
"Tadi waktu ulangan, nilai Arka paling bagus. Arka seneng banget." Aku meringis, ingin memamerkan kehebatanku pada Bapak.
"Anaknya Bapak 'kan emang pinter."
"Arka pingin jalan-jalan ke luar negri kalau udah besar nanti, Pak. Sama Bapak dan Ibu."
"Aamiin. Doa Bapak di nadimu,” ucap Bapak. Seperti lirik lagu milik penyanyi kondang, Iwan Fals.
#  #  #
Suara air yang bergemericik dari kamar mandi terdengar jelas di telingaku. Seperti Minggu pagi biasanya, aku ikut Ibu untuk berjualan di pasar. Lumayan jauh memang, tapi aku tak pernah lelah berjalan. Toh, di pasar banyak bebek atau ayam kecil yang menggemaskan, hiburan gratis bagiku. Malu? Untuk apa malu? Banyak juga temanku yang ikut Bapak atau Emaknya berjualan di pasar seperti diriku.
Ibu memasukkan barang dagangannya ke dalam bronjong hijau yang diletakkan di sepeda tua. Aku paham betul, bahwa belajar tak melulu dengan buku. Kata Ibu, kita juga perlu belajar bersosialisasi. Kita bukan hanya perlu teori namun, praktek.
Udara pagi yang dingin membuat rambut sebahuku menari-nari seperti daun bambu yang ada di tepi jalan. Aku berjalan di belakang Ibu yang menuntun sepeda. Deretan Gunung Merapi, Merbabu, dan Gunung Sumbing tampak dari tempat yang sedang kupijak. Kaki Gunung Tidar.
Pasar Pucang tak pernah sepi. Apalagi jika hari pasarannya adalah Pahing, Pasar Pucang semakin ramai. Nah, ketika menjelang Lebaran, tempat ini akan seperti lautan. Banyak yang menjual bunga mawar, sedap malam, krisan, dan tak lupa ketupat.
"Ibu, Arka mau beli koran." Selain senang memelototi bebek-bebek kecil sampai bosan, aku juga suka membeli koran. Melalui koran, aku bisa mengenal daerah dan negara lain. Aku berharap, suatu saat nanti aku bisa mengunjungi tempat tersebut. Seperti London misalnya.
#  #  #
"Pak, Arka berangkat dulu. Assalaamualaikum," pamitku pada beliau.
"Sekolah yang pinter ya. Nanti langsung pulang kalau sudah selesai."
"Inggih."
Aku tahu, kalau terdapat Negara Amerika di dunia ini. Aku juga tahu, banyak negara yang bersarang di Bumi ini. Aku selalu berdoa diterima di jurusan bahasa Inggris saat kuliah dan bisa mengelilingi London dengan kemampuanku ber’cas cis cus’. Entah mengapa aku sangat menginginkannya.
Kaki kananku naik ke dalam angkutan kuning yang akan membawaku ke sekolah.  Tak butuh waktu lama untuk sampai. Selama lima jam kuhabiskan untuk belajar di dalam gedung sekolah bersama kawan lainnya.
"Ri, aku udah sampai. Duluan ya." Aku tersenyum pada Sari,  turun dari angkot lalu mengangsurkan ongkos angkot ke Pak Sopir.
Biasanya, sepulang sekolah aku tak langsung meluncur ke rumah. Melainkan berjalan kaki menuju kediaman guruku yang tak jauh dari sekolah untuk belajar bahasa Inggris. Tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Setelah satu jam, barulah aku pulang.
Kadang Bapak tanya padaku, "Dari mana, Ka?"
"Belajar bersama, Pak," jawabku jujur. Aku 'kan memang belajar namun, bersama guruku.
Kali ini, atas perintah Bapak, aku langsung pulang. Aku menenteng tas sambil berjalan pelan menuju rumah. Melewati jalan berbatu yang lebarnya kisaran satu setengah meter. Kulihat jam dinding di depan teras Pak Lurah. Pukul dua belas.
Beberapa meter lagi aku sampai di rumah tercinta. Mengapa banyak orang yang berjalan ke arah rumahku? Ah, pasti ini hanya pikiran burukku saja! Mungkin mereka semua hendak pergi ke sawah. Tenang saja, tak akan terjadi apapun di rumahku. Tapi pikiran itu secara tiba-tiba hilang, dimakan oleh rasa penasaran. Sepertinya sesuatu memang benar-benar terjadi!
"Arka, sabar ya, Nduk," ucap Bude Sarni yang berpapasan denganku. Sepertinya beliau baru saja dari rumahku.
"Wonten punapa, Bude?" tanyaku dengan tak sabaran.
"Bapakmu ...," tuturnya dengan intonasi yang seakan membuatku mati penasaran. Lama dan menggantung, "Pak Kusumo meninggal."
Tiga kata yang berkolaborasi. Mampu menggetarkan hati dan menggoncang duniaku.
"Nggak! Bapak itu hidup! Bude jangan bercanda sama Arka!" Tidak  ada seorangpun yang boleh main-main dengan kematian. Apalagi soal kematian Bapak. Rasanya aku ingin lari sekuat yang aku bisa. Tapi apa daya, kaki ini terasa lemas.
"Bapak, bangun, Pak!" kudengar isak tangis Ibuku. Buru-buru, Ibu menghapus air matanya ketika melihatku di ambang pintu.
"Ndak apa, Sayang. Ibu masih di sini," ucapnya yang membuatku semakin ngilu. Ibu sendiri juga sedang sedih, tapi masih tetap mengkhawatirkan aku.
“Pak, Bapak nggak mau ikut Arka jalan-jalan ke luar negri ya?” bisikku pelan pada Bapak yang sudah dibalut dengan kain putih.
Tuhan tidak adil.
#  #  #
Seperti malam-malam biasanya, aku belajar seusai salat isya. Sudah sebulan sejak kepergian Bapak. Aku semakin menempel pada Ibu, takut terjadi sesuatu juga pada beliau. Satu satunya yang kumiliki saat ini hanyalah Ibu. Sekarang rumah ini hanya berisikan kami berdua. Sepi.
Tadi siang, Ibu memarahiku karena aku ketahuan belajar di rumah Bu Atika. Katanya, aku itu merepotkan. Sebenarnya beliau tidak marah, hanya saja nada bicaranya naik setingkat lebih tinggi. Tapi aku akan tetap belajar bahasa Inggris pada Bu Atika, bisikku dalam hati.
“Buk, tahu nggak?” tanyaku memecah keheningan.
“Apa?”
“Arka pingin jalan-jalan ke luar negri sama Bapak dan Ibu,” ucapku pelan. Aku pernah mengatakan ini kepada Bapak sebelumnya. Kulihat Ibu hanya menelan ludah, menerima kenyataan bahwa saat ini Bapak sudah tak lagi ada.
Mengerti arah pembicaraanku, Ibu membalas, “Kamu sekolah saja di dekat sini. Nggak perlu gengsi sama temanmu yang sekolah di kota. Banyak temen Ibu yang dulunya mlarat sekarang jadi pengusaha.”
“Tapi Bu ....”
“Arka itu ‘kan perempuan. Kamu mending les menjahit atau masak saja, belajar menjadi istri yang baik.” Ibu diam sejenak. “Sekolah di kota butuh biaya banyak, Ka.”
“Arka bisa kok, kerja sepulang sekolah!”
“Arka! Ibu masih kuat kerja dan cari uang buat kamu! Kamu sekolah saja, nggak pelu aneh-aneh. Kalau sudah selesai sekolah, baru boleh kerja.”
Aku membendung air mata dan berlari menuju kamar. Membanting pintunya hingga menciptakan suara keras yang pastinya akan membuat hati Ibu terluka. Tapi aku sedang marah dan tak mau tahu dengan perasaan Ibu.
“Pokoknya aku mau ke London!”
Tanganku membuka lemari dan mengobrak-abrik isinya. Mengapa hanya Bapak saja yang menyetujui mimpiku? Mengapa Ibu tidak? Andai Bapak masih ada, aku bisa meminta perlindungan padanya. Tapi mustahil. Aku hendak melempar beberapa pakaian yang berserakan di lantai, tiba-tiba aku menemukan secarik kertas yang terselip di bawah seragamku.Mataku menyipit, mencoba mengingat-ingat kertas apa yang sedang ada di tanganku saat ini.  Ini bukan milikku.
            Untuk Arka.


Empat belas tahun sudah Bapak lewati bersamamu. Bapak ingat, saat pertama kali mendengar suara tangismu memenuhi telingaku. Kuberi nama kau Arka yang artinya matahari dan Kusumo yang merupakan namaku. Kuharap kau selalu menjadi matahari dalam hidupku. Matahari bagi Kusumo. Bapak tahu, namamu itu seperti laki-laki dan kau sering dicemooh oleh temanmu. Tapi percayalah, kau tetap cantik dengan namamu itu.
Empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi kau tumbuh menjadi gadis cantik dengan begitu cepat. Jadilah anak yang pandai dan berbakti pada orang tuamu. Terutama Ibumu.
Ingat, Nak. Rida Allah tergantung pada rida kedua orang tuamu dan murka Allah juga tergantung pada murka kedua orang tuamu. Dan sekarangi, saat kau baca surat  ini, kau hanya bisa mendapat rida Allah dari Ibumu.
Salam rindu, Bapak.
Aku menangis sejadi-jadinya sampai larut malam. Memeluk surat itu sampai aku tertidur. Berharap Bapak benar-benar datang padaku. 
#  #  #
Aku membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Memandangi tiap lembar kertas yang yang penuh dengan warna. Sampel-sampel kain berjejer rapi di sudut ruangan, membuat kamarku semakin penuh dan sesak. Aku lelah. Beberapa bulan lalu, namaku melambung tinggi walau tak setinggi Anniesa Hasibuan maupun Dian Pelangi.
Jika kau tahu, saat itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah di kota atau meneruskan kuliah di jurusan Inggris. Aku selalu mengingat hadis yang ditulis Bapak dalam suratnya. Bahwa rida Allah tergantung pada rida kedua orang tua dan murka Allah tergantung pada murka kedua orang tua. Aku dengan sedikit terpaksa mengikuti les menjahit dan mengambil Sekolah Menengah Atas yang tak jauh dari rumah.
Berawal dari keterpaksaan kini, aku menjadi desainer. Ini semua adalah berkat doa dan rida Ibu. Setelah lulus SMA aku masuk dalam jurusan yang tak jauh dari urusan jahit-menjahit yaitu, desain. Setengah bulan yang lalu, aku sempat terbang ke London dan menginap beberapa hari di sana. Menjadi tamu untuk sekadar menonton dalam salah satu fashion show yang digelar oleh desainer-desainer ternama di dunia. Tak lupa, Ibu ikut serta dalam perjalananku mengunjungi beberapa tempat yang sudah kuimpikan.




Data diri :

Elsa Naditya Paramitha

MTsN 1 Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *