My Little Bird
Dalam dua tahun belakangan ini, aku tak pernah
tertawa sampai merasa puas. Lelucon selucu apapun tak bisa membuatku tertawa,
hanya bisa membuatku tersenyum lebar yang sama sekali tidak memuaskan harapanku
untuk tertawa. Aku sangat membenci keadaanku ini, jadi aku meminta pada Tuhan,
semoga Dia mau mengirimiku apa saja, asalkan itu bisa membuatku tertawa. Tapi,
itu tidak mungkin.
Pagi hari di musim semi saat usiaku 17 tahun,
ketika aku membuka gorden jendela kamarku, di bingkai jendela itu terdapat
seekor burung. Burung itu kecil, lemah, dan setelah kuperiksa ternyata dia
mengalami patah tulang di sayap. Entah kenapa, hatiku pun tergerak untuk
merawatnya.
Jadi, begitulah. Burung itu kurawat sampai pulih
betul dan kuberi dia nama Shiro karena bulu sayapnya berwarna putih terang.
Setiap hendak berangkat sekolah dan sepulangnya, aku menyempatkan diri untuk
menyapa Shiro dan mengamati perkembangan kesembuhannya. Ajaibnya, dalam waktu
dua minggu, Shiro sudah sembuh dan siap terbang.
Aku memutuskan untuk menerbangkannya minggu depan.
Jaga-jaga kalau nanti ternyata dia belum sembuh benar. Selama satu minggu itu,
Shiro sudah bisa terbang mengelilingi rumahku dan selalu ada di kamar setiap
aku ada di kamar. Dia selalu membawakan bunga Sakura yang tumbuh di depan
rumahku setiap pagi.
Hari minggu pun tiba.Aku membawa Shiro ke hutan
kecil yang ada di dekat rumahku. “Selamat, Shiro. Dengan begini, kau bisa
terbang bebas lagi dan menikmati sejuknya udara di musim semi,” kataku
mengucapkan selamat pada Shiro. Shiro hanya bisa berkicau senang. Bagi manusia,
itu mungkin senyum bahagia.
“Enak sekali dirimu ini, bisa tersenyum bahagia
hanya karena hal sekecil ini. Andai saja aku masih punya orang yang kusayangi,
aku pasti masih bisa tertawa. Jika begini terus, aku tidak akan pernah punya
teman lagi,” keluhku sambil mengelus sayap Shiro yang lembut.
Shiro menatapku sejenak lalu mengelus tanganku
dengan kepalanya. “Hihi, kau baik hati sekali. Sayangnya, aku tak mengerti
maksud ucapanmu. Andai kita sejenis, kita pasti sudah menjadi teman baik,”
kataku sambil tersenyum sedih.
“Sampai jumpa lagi, ya, Shiro. Semoga kita bisa
bertemu lagi. Bye!”
J|J
Hari ini adalah hari Senin, hari yang tidak
kusukai. Selalu saja dalam hidupku Senin menjadi hari yang menyedihkan.
Pelajarannya banyak, enggak penting, dan membuatku nyaris mati karena bosan.
“Anak-anak, duduk di tempat kalian masing-masing.
Hari ini, kelas kita kedatangan murid baru,” kata Bu Arla tegas.
Murid baru itu pun memperkenalkan diri. “Hai,
semua. Namaku Mamoru Shiro, Shiro. Senang bisa sekelas dengan kalian. Mohon
bantuannya dari hari ini sampai besok-besok, ya?” katanya sambil melempar
senyum manis ke seisi kelas.
Tunggu dulu, namanya Shiro? Mungkin kesannya
berlebihan, tapi kok aku merasa dia mirip dengan Shiro, burung yang kurawat?
Rambut gadis itu lurus dan warnanya putih terang. Jepit rambutnya yang
berbentuk sekumpulan daun dan bunga Sakura tampak cocok membuatnya semakin
cantik. Kulit tubuhnya juga putih bersinar. Betul-betul seperti malaikat.
Cewek aneh itu duduk di dekatku. Sepanjang hari,
dia terus menatapku lekat-lekat, seperti
sedang mengawasi dan hal itu dilakukannya terang-terangan. Aku pingin istirahat
datang. Akhirnya, datang juga waktu itu! Aku sudah bersiap pergi dari kelas.
Tapi..
“Tunggu dulu,” cegahnya. Aku pun berhenti bergerak
selama sesaat lalu duduk kembali. “Bagus. Begitu, dong. Nah, karena kita
sekelas dan tempat duduk kita dekat, sebagai teman yang baik boleh aku bertanya
banyak hal padamu?” tanya Shiro padaku tanpa melupakan senyum manis di
bibirnya.
“Hah? Aku menolak,” balasku dengan dingin. “Cari
saja orang lain. Alangkah lebih baik kalau yang kau minta bantuan itu sesama
cewek,” kataku memberi saran.
“Aku tak mau. Aku lebih suka dengan yang lebih
dekat,” tolaknya halus. Aku membuka mulut hendak membujuknya lagi untuk
menjauhiku. “Eits, cukup,” cegahnya lagi. “Aku hanya ingin kau menjawab
pertanyaanku,” pintanya.
Aku mendesah dengan sedih. “Baiklah. Apa?” tanyaku
berusaha sabar.
“Ini pertanyaan umum. Siapa namamu?” tanyanya. Aku
merasa gadis ini punya sihir memikat yang luar biasa.
“Sean. Sean Afiagi,” balasku dengan senang hati.
Dia tiba-tiba mendekatkan dirinya kepadaku dan menarik kedua sudut bibirku
bersamaan, membuat senyuman di wajahku dan wajahnya menggunakan dua jari
telunjuknya yang lentik.
“Apa-apaan, sih, kau ini?!” seruku kaget sambil
mendorongnya menjauh.
“Kau ini memang tampan. Tapi, jauh lebih tampan
kalau tersenyum. Salah apa, sih, dunia ini padamu sampai-sampai membuat senyum
pun kau enggan melakukannya?” tanya Shiro.
“Memangnya kau tau apa tentang kehidupanku! Kau ini
Cuma murid baru, mengenalku satu hari saja belum sudah sok tau! Jangan belagu!”
seruku kesal.
Awalnya, dia syok berat dan menatapku dengan sorot mata
berkaca-kaca. Tepat sebelum aku melakukan pencegahan supaya dia tidak menangis,
senyum manis kembali muncul di bibirnya.
“Bagus. Tunjukkan saja ekspresimu. Jangan
menahannya. Pasti rasanya sangat menyiksa terus-terusan berwajah baik-baik
saja, ‘kan? Selama ada di dekatku, kau boleh melakukan apapun maupun bersikap
semaumu,” katanya. Aku jadi takut. Sebenarnya, siapa gadis ini?
J|J
Hari-hari yang aneh dan menyebalkan pun berlangsung
sejak kejadian itu. Kemana pun aku pergi, Shiro selalu mengikuti. Sebenarnya,
aku tidak membencinya, sih. Siapa juga yang bisa membenci gadis semanis dan
sespesial dia? Selain dianugerahi paras manis luar biasa, dia juga sangat
pengertian dan baik pada semua orang. Lagipula, dia suka sekali membuat orang
di sekelilingnya menjadi bahagia.
Gara-gara dia, lama kelamaan aku merasa seperti
telah dikembalikan bagian tubuh yang hilang. Kurasa, ini semua berkat Shiro.
Pada pagi hari di hari Senin, untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku mengharapkan hari ini datang. Soalnya, aku
mau mengucapkan terimakasih pada Shiro. Tapi, ditunggu sejak tadi pun, gadis
itu tidak kunjung ada.
“Hei, ada yang tau enggak Shiro ada dimana?”
tanyaku pada salah satu teman sekelas.
“Eh, masa’ Sean tidak tau? Dua hari yang lalu Shiro
keluar dari sekolah. Dia pindah rumah,” jawabnya.
Apa? ‘PINDAH’? Secepat itu kah? Padahal, ada banyak
hal yang ingin kulakukan untuk membalas budi padanya. Gawat, dua hari yang lalu
aku tidak masuk, sih.
Pelajaran pertama olahraga. Gara-gara kejadian tadi
pagi, kepalaku jadi pusing. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan waktu di UKS
sampai merasa baikan.
Ketika aku hendak tidur, muncullah seorang gadis
yang sangat kunantikan kehadirannya, Mamoru Shiro. “Shiro, syukurlah kau ada di
sini.Ada yang ingin kubicarakan padamu,” kataku senang lalu mengambil posisi
duduk. Shiro pun mendekat ke ranjangku.
“Mungkin ini berlebihan, tapi aku ingin mengucapkan
terimakasih padamu. Gara-gara kamu, aku bisa tertawa lagi dan bersenang-senang
dengan yang lain. Terimakasih, ya!” kataku sambil tersenyum senang. Shiro
menunjukkan ekspresi yang lebih bahagia daripada yang kubuat.
“Syukurlah kalau begitu, Sean,” katanya senang.
Lalu, tiba-tiba dia menghujaniku dengan bunga Sakura yang entah dari mana dia
bawa dan jumlahnya sangat banyak.
“Apa maksudnya ini?” tanyaku kaget dan bingung.
Shiro tersenyum, tapi tersenyum sedih. “Dengan
begini aku sudah membalas budimu. Selamat tinggal,” kata Shiro. Matanya
berkaca-kaca seperti hendak menangis. Hal yang terjadi berikutnya benar-benar
di luar dugaanku. Dalam sekejab, dia berubah wujud menjadi burung kecil berbulu
putih terang.
“Shi-Shi-ro..?” tanyaku tidak percaya. Burung itu
hanya menunduk lalu mengepakkan sayapnya melintasiku. Dia terus terbang sampai
ke luar jendela. “Shiro, tunggu!” teriakku berusaha menghentikannya sambil
mengulurkan tanganku berharap bisa menangkapnya. Tapi, Shiro terus terbang tak
memedulikan panggilanku.
J|J
Hari ini Hanami. Aku pergi ke taman Sakura di
tengah kota dan duduk di salah satu bangku panjang yang disediakan di dekat air
mancur. Di dekat air mancur itu, biasanya berbagai macam burung berkumpul dan
para pengunjung akan memberi makan mereka. Aku pun sedang melakukannya. Dari
sekian banyak burung yang berkumpul, tak satu pun ada yang mirip Shiro.
“Shiro, kembalilah..,” panggilku lirih dengan nada
sedih.
“Iya, aku di sini,” suara seorang gadis yang sangat
kukenal terdengar. Aku segera mendongak dan menatap wajahnya dengan ekspresi
tak percaya. Itu Shiro!
Shiro tersenyum geli melihatku. “Hihi, kau ini
kenapa, sih, Sean? Padahal, aku meninggalkanmu karena berpikir kalau kau sudah
tidak apa-apa jika sendirian karena kau sudah bahagia,” katanya sambil
tersenyum geli. Aku pun balas tersenyum.
“Mana mungkin aku bisa bahagia tanpa dirimu”.
J|J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar