Kamis, 09 Februari 2017

karya cerpen milik Aulia Nailul Muna sebagai juara 1 lomba karya cerpen PENA MAPK 2017

My Little Bird
Dalam dua tahun belakangan ini, aku tak pernah tertawa sampai merasa puas. Lelucon selucu apapun tak bisa membuatku tertawa, hanya bisa membuatku tersenyum lebar yang sama sekali tidak memuaskan harapanku untuk tertawa. Aku sangat membenci keadaanku ini, jadi aku meminta pada Tuhan, semoga Dia mau mengirimiku apa saja, asalkan itu bisa membuatku tertawa. Tapi, itu tidak mungkin.
Pagi hari di musim semi saat usiaku 17 tahun, ketika aku membuka gorden jendela kamarku, di bingkai jendela itu terdapat seekor burung. Burung itu kecil, lemah, dan setelah kuperiksa ternyata dia mengalami patah tulang di sayap. Entah kenapa, hatiku pun tergerak untuk merawatnya.
Jadi, begitulah. Burung itu kurawat sampai pulih betul dan kuberi dia nama Shiro karena bulu sayapnya berwarna putih terang. Setiap hendak berangkat sekolah dan sepulangnya, aku menyempatkan diri untuk menyapa Shiro dan mengamati perkembangan kesembuhannya. Ajaibnya, dalam waktu dua minggu, Shiro sudah sembuh dan siap terbang.
Aku memutuskan untuk menerbangkannya minggu depan. Jaga-jaga kalau nanti ternyata dia belum sembuh benar. Selama satu minggu itu, Shiro sudah bisa terbang mengelilingi rumahku dan selalu ada di kamar setiap aku ada di kamar. Dia selalu membawakan bunga Sakura yang tumbuh di depan rumahku setiap pagi.
Hari minggu pun tiba.Aku membawa Shiro ke hutan kecil yang ada di dekat rumahku. “Selamat, Shiro. Dengan begini, kau bisa terbang bebas lagi dan menikmati sejuknya udara di musim semi,” kataku mengucapkan selamat pada Shiro. Shiro hanya bisa berkicau senang. Bagi manusia, itu mungkin senyum bahagia.
“Enak sekali dirimu ini, bisa tersenyum bahagia hanya karena hal sekecil ini. Andai saja aku masih punya orang yang kusayangi, aku pasti masih bisa tertawa. Jika begini terus, aku tidak akan pernah punya teman lagi,” keluhku sambil mengelus sayap Shiro yang lembut.
Shiro menatapku sejenak lalu mengelus tanganku dengan kepalanya. “Hihi, kau baik hati sekali. Sayangnya, aku tak mengerti maksud ucapanmu. Andai kita sejenis, kita pasti sudah menjadi teman baik,” kataku sambil tersenyum sedih.
“Sampai jumpa lagi, ya, Shiro. Semoga kita bisa bertemu lagi. Bye!”
J|J
Hari ini adalah hari Senin, hari yang tidak kusukai. Selalu saja dalam hidupku Senin menjadi hari yang menyedihkan. Pelajarannya banyak, enggak penting, dan membuatku nyaris mati karena bosan.
“Anak-anak, duduk di tempat kalian masing-masing. Hari ini, kelas kita kedatangan murid baru,” kata Bu Arla tegas.
Murid baru itu pun memperkenalkan diri. “Hai, semua. Namaku Mamoru Shiro, Shiro. Senang bisa sekelas dengan kalian. Mohon bantuannya dari hari ini sampai besok-besok, ya?” katanya sambil melempar senyum manis ke seisi kelas.
Tunggu dulu, namanya Shiro? Mungkin kesannya berlebihan, tapi kok aku merasa dia mirip dengan Shiro, burung yang kurawat? Rambut gadis itu lurus dan warnanya putih terang. Jepit rambutnya yang berbentuk sekumpulan daun dan bunga Sakura tampak cocok membuatnya semakin cantik. Kulit tubuhnya juga putih bersinar. Betul-betul seperti malaikat.
Cewek aneh itu duduk di dekatku. Sepanjang hari, dia terus  menatapku lekat-lekat, seperti sedang mengawasi dan hal itu dilakukannya terang-terangan. Aku pingin istirahat datang. Akhirnya, datang juga waktu itu! Aku sudah bersiap pergi dari kelas. Tapi..
“Tunggu dulu,” cegahnya. Aku pun berhenti bergerak selama sesaat lalu duduk kembali. “Bagus. Begitu, dong. Nah, karena kita sekelas dan tempat duduk kita dekat, sebagai teman yang baik boleh aku bertanya banyak hal padamu?” tanya Shiro padaku tanpa melupakan senyum manis di bibirnya.
“Hah? Aku menolak,” balasku dengan dingin. “Cari saja orang lain. Alangkah lebih baik kalau yang kau minta bantuan itu sesama cewek,” kataku memberi saran.
“Aku tak mau. Aku lebih suka dengan yang lebih dekat,” tolaknya halus. Aku membuka mulut hendak membujuknya lagi untuk menjauhiku. “Eits, cukup,” cegahnya lagi. “Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku,” pintanya.
Aku mendesah dengan sedih. “Baiklah. Apa?” tanyaku berusaha sabar.
“Ini pertanyaan umum. Siapa namamu?” tanyanya. Aku merasa gadis ini punya sihir memikat yang luar biasa.
“Sean. Sean Afiagi,” balasku dengan senang hati. Dia tiba-tiba mendekatkan dirinya kepadaku dan menarik kedua sudut bibirku bersamaan, membuat senyuman di wajahku dan wajahnya menggunakan dua jari telunjuknya yang lentik.
“Apa-apaan, sih, kau ini?!” seruku kaget sambil mendorongnya menjauh.
“Kau ini memang tampan. Tapi, jauh lebih tampan kalau tersenyum. Salah apa, sih, dunia ini padamu sampai-sampai membuat senyum pun kau enggan melakukannya?” tanya Shiro.
“Memangnya kau tau apa tentang kehidupanku! Kau ini Cuma murid baru, mengenalku satu hari saja belum sudah sok tau! Jangan belagu!” seruku kesal.
Awalnya, dia syok berat dan menatapku dengan sorot mata berkaca-kaca. Tepat sebelum aku melakukan pencegahan supaya dia tidak menangis, senyum manis kembali muncul di bibirnya.
“Bagus. Tunjukkan saja ekspresimu. Jangan menahannya. Pasti rasanya sangat menyiksa terus-terusan berwajah baik-baik saja, ‘kan? Selama ada di dekatku, kau boleh melakukan apapun maupun bersikap semaumu,” katanya. Aku jadi takut. Sebenarnya, siapa gadis ini?
J|J
Hari-hari yang aneh dan menyebalkan pun berlangsung sejak kejadian itu. Kemana pun aku pergi, Shiro selalu mengikuti. Sebenarnya, aku tidak membencinya, sih. Siapa juga yang bisa membenci gadis semanis dan sespesial dia? Selain dianugerahi paras manis luar biasa, dia juga sangat pengertian dan baik pada semua orang. Lagipula, dia suka sekali membuat orang di sekelilingnya menjadi bahagia.
Gara-gara dia, lama kelamaan aku merasa seperti telah dikembalikan bagian tubuh yang hilang. Kurasa, ini semua berkat Shiro.
Pada pagi hari di hari Senin, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengharapkan hari ini datang. Soalnya, aku mau mengucapkan terimakasih pada Shiro. Tapi, ditunggu sejak tadi pun, gadis itu tidak kunjung ada.
“Hei, ada yang tau enggak Shiro ada dimana?” tanyaku pada salah satu teman sekelas.
“Eh, masa’ Sean tidak tau? Dua hari yang lalu Shiro keluar dari sekolah. Dia pindah rumah,” jawabnya.
Apa? ‘PINDAH’? Secepat itu kah? Padahal, ada banyak hal yang ingin kulakukan untuk membalas budi padanya. Gawat, dua hari yang lalu aku tidak masuk, sih.
Pelajaran pertama olahraga. Gara-gara kejadian tadi pagi, kepalaku jadi pusing. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan waktu di UKS sampai merasa baikan.
Ketika aku hendak tidur, muncullah seorang gadis yang sangat kunantikan kehadirannya, Mamoru Shiro. “Shiro, syukurlah kau ada di sini.Ada yang ingin kubicarakan padamu,” kataku senang lalu mengambil posisi duduk. Shiro pun mendekat ke ranjangku.
“Mungkin ini berlebihan, tapi aku ingin mengucapkan terimakasih padamu. Gara-gara kamu, aku bisa tertawa lagi dan bersenang-senang dengan yang lain. Terimakasih, ya!” kataku sambil tersenyum senang. Shiro menunjukkan ekspresi yang lebih bahagia daripada yang kubuat.
“Syukurlah kalau begitu, Sean,” katanya senang. Lalu, tiba-tiba dia menghujaniku dengan bunga Sakura yang entah dari mana dia bawa dan jumlahnya sangat banyak.
“Apa maksudnya ini?” tanyaku kaget dan bingung.
Shiro tersenyum, tapi tersenyum sedih. “Dengan begini aku sudah membalas budimu. Selamat tinggal,” kata Shiro. Matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Hal yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaanku. Dalam sekejab, dia berubah wujud menjadi burung kecil berbulu putih terang.
“Shi-Shi-ro..?” tanyaku tidak percaya. Burung itu hanya menunduk lalu mengepakkan sayapnya melintasiku. Dia terus terbang sampai ke luar jendela. “Shiro, tunggu!” teriakku berusaha menghentikannya sambil mengulurkan tanganku berharap bisa menangkapnya. Tapi, Shiro terus terbang tak memedulikan panggilanku.
J|J
Hari ini Hanami. Aku pergi ke taman Sakura di tengah kota dan duduk di salah satu bangku panjang yang disediakan di dekat air mancur. Di dekat air mancur itu, biasanya berbagai macam burung berkumpul dan para pengunjung akan memberi makan mereka. Aku pun sedang melakukannya. Dari sekian banyak burung yang berkumpul, tak satu pun ada yang mirip Shiro.
“Shiro, kembalilah..,” panggilku lirih dengan nada sedih.
“Iya, aku di sini,” suara seorang gadis yang sangat kukenal terdengar. Aku segera mendongak dan menatap wajahnya dengan ekspresi tak percaya. Itu Shiro!
Shiro tersenyum geli melihatku. “Hihi, kau ini kenapa, sih, Sean? Padahal, aku meninggalkanmu karena berpikir kalau kau sudah tidak apa-apa jika sendirian karena kau sudah bahagia,” katanya sambil tersenyum geli. Aku pun balas tersenyum.
“Mana mungkin aku bisa bahagia tanpa dirimu”.

J|J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *